Liga 1 baru saja dimulai. Ya,
liga ini merupakan liga sepak bola di Indonesia yang menggantikan liga
sebelumnya. Hal yang membedakannya adalah pihak mitra penyelenggaranya.
Ditambah lagi, ada ketambahan tim-tim baru, seperti Bhayangkara FC, dll. Selain
itu juga ada beberapa tim yang promosi dari Liga 2.
Nah, tapi yang menarik adalah
promosinya PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya) di Liga 1 ini.
Setelah dulu sempat berjaya di masa-masa 2007-an, atau masa-masa Mahyadi dkk,
PSMS harus merasakan kejatuhan dengan buruknya manajemen tim. Alhamdulillah,
tahun 2018 mereka bisa kembali menunjukkan kemampuannya dengan menjadi
semifinalis Piala Presiden 2018, dan promosi ke Liga 1 ini.
Sebagai bentuk dukungan dan
apresiasi, saya selalu menonton PSMS berlaga di Liga 1, tentu saja menonton di
televisi. Biasanya saya menonton bareng sama teman satu SMP-SMA saya di kosnya,
biar seru. Meskipun dua kali pertandingan ini, PSMS masih harus merasakan
kekalahan, yakni melawan Bali United dan Bhayangkara FC.
Setelah sedikit kecewa PSMS
kalah, lalu ternyata kekecewaan itu harus bertambah lagi. Ya, setelah nonton
bareng tersebut, saya menonton berita yang isinya adalah Penetapan Tersangka
kepada 38 Anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2012-2019 atas dugaan kasus
Penyuapan yang dilakukan oleh terpidana – Mantan Gubernur Sumatera Utara –
Gatot Pujo Nugroho yang sekarang sudah menjadi tahanan KPK [1]. Masygul. Ibarat
luka terbuka yang ditaburi garam. Sangat perih.
Penetapan
ini dilakukan oleh KPK melalui surat yang dikeluarkan oleh KPK kepada Ketua
DPRD Sumut, Warigin Arman, tanggal 29 Maret 2018 dengan surat perintah
penyidikan (sprindik) tertanggal 28 Maret 2018. Meskipun melibatkan anggotanya
di parlemen, Warigin mendukung penyelidikan oleh KPK. Namun, dia meminta agar
situasi tersebut tidak membuat warga geger agar stabilitas tetap terjaga
karena, menurutnya, Sumut merupaan barometer (keamanan) nasional. Lagian,
semuanya belum tentu bersalah, menurut Warigin.
Bagi saya, kabar ini kaget gak
kaget. Kaget karena ternyata yang terlibat dalam kasus tersebut sebanyak 38
orang. Sebelumnya juga sudah ada anggota DPRD Sumut yang terjerak kasus yang
sama, hanya jumlahnya tidak sebesar ini. Adapun yang membuat tidak kaget adalah
karena hal tersebut terjadi di Sumatera Utara, yang sudah ”terkenal” dengan
trackrecord-nya di kasus-kasus korupsi. Ironi memang. Tapi, demikianlah
nyatanya.
Berdasarkan hasil survey yang
dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) terkait Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2017 pada 12 kota di Indonesia, Kota Medan
menempati posisi terendah dengan 37,4 poin [2]. Meski hanya 12 kota yang
disurvey, tetapi hal ini menggambarkan bagaimana korupsi masih melekat erat di
kota tersebut [3]. Hal ini didukung oleh penetapan tersangka Walikota Medan,
mulai dari Abdillah, Rahudman, dll.
Tidak hanya itu, Provinsi Sumut
pun seakan tidak mau kalah dengan ibu kotanya sehingga menempatkan dirinya
sebagai provinsi terkotup menurut versi ICW pada tahun 2015 [4]. Bahkan menurut
versi KPK, Sumut termasuk jajaran 3 besar provinsi paling korup di negeri ini
[5]. Tak heran jika kita melihat para gubernurnya yang seperti menunggu antrian
untuk dipanggil KPK, mulai dari Syamsul Arifin hingga Gatot. Berdoa saja Tengku
Erry tidak ikut “mengantri”.
Sebenarnya, KKN itu sudah sangat
melekat di Sumut. Bahkan, ada satiran yang mengatakan bahwa singkatan SUMUT
adalah Semua Urusan Menggunakan Uang Tunai. Ironis sekali, bukan? Sebagai salah
satu provinsi besar, maka kasus-kasus korupsi tersebut memberikan pengaruh
buruk bagi provinsi sekitarnya. Jika dikatakan Warigin bahwa Sumut adalah
barometer, maka kasus korupsi yang terjadi di Sumut mungkin bisa jadi barometer
kondisi bangsa ini. Ini menurut saya, sih.
Melihat praktik KKN di Sumut,
maka kita cuma bisa gigit jari saja. Bagaimana tidak? Stereotipe yang terbangun
di masyarakat adalah pola pikir KKN. Akan sering terdengar, “Kalau mau cepat,
ya bayar lah”, “Kalau gak ada orang dalam, mana bisa?”, “Realistis aja lah,
duit semuanya itu”, atau kalimat-kalimat lainnya yang sejenis. Apakah kalian
merasakan kepedihan itu? Kalau terasa biasa-biasa saja, maka pasti ada yang
salah. Semoga saja kita sama-sama resah ya.
Kembali lagi menanggapi kasus
penetapan anggota DPRD Sumut tadi. Sebagai warga asli Medan, maka secara
pribadi saya merasa malu. Selain itu, saya juga merasa semakin tertekan karena
kasus tersebut memberikan tanda bagai saya agar lebih kuat pundaknya untuk
membenahi kondisi tersebut. Ya, tambahan tugas bagi kami generasi muda Sumut.
Meskipun demikian, saya tetap
harus optimis bahwa Sumut, dan Medan, bisa menjadi kota yang luhur. Keluhuran
tersebut meliputi pemberdayaan masyarakatnya, sistem pemerintahannya, tata
kotanya, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dicapai melalui semangat para
pemudanya yang sejak sekarang memikirkan tentang daerah asalnya, dalam hal ini
Sumut.
Parameter dasar yang menjadi
acuan apakah pemudanya bisa diandalkan atau tidak di masa mendatang adalah,
mereka merasa resah dan tidak sepakat dengan kondisi Sumut yang sekarang. Jika
merasa aman-aman saja, maka melalui tulisan ini, saya ajak untuk sama-sama
merasakan resah dengan semua praktik negatif di provinsi Sumut.
“Boleh kecewa dengan
pemerintahannnya, tetapi haram pesimis dengan provinsinya”
Pemuda Medan,
Abiyyu Fathin Derian
Referensi: