Tragedi
kematian hewan di kebun binatang kembali terjadi. Kali ini, seekor singa Afrika
bernama Michael yang berusia 1,5 tahun ditemukan mati dengan posisi leher
terjerat kawat selingseperti posisi bunuh diri di Kebun Binatang Surabaya
(KBS). Bangkainya ditemukan oleh petugas kebun binatang pukul 07.00 WIB pada
Selasa (7/1/2014).
Kematian
Michael dinilai janggal. Kawat seling yang menjerat Michael merupakan kawat
seling yang digunakan untuk membuka dan menutup pintu kandang. Dengan posisi
terjerat kawat seling, tidak mungkin Michael terjerat kawat seling dengan
sendirinya apalagi bunuh diri dengannya. Pasti ada yang menggantung hewan
tersebut.
Michael
mati disebabkan kekurangan udara pada rongga pernapasannya. Di tubuhnya juga tidak
ditemukan kerusakan organ. Keadaan ini akhirnya menimbulkan banyak spekulasi,
di antaranya yakni Michael telah mati terlebih dahulu baru kemudian digantung
oleh seseorang, baik dari pihak intern atau ekstern. Namun, sepertinya tidak mungkin pihak ekstern yang menggantung Michael
karena bangkainya ditemukan pada pagi hari saat kebun binatang belum buka.
Otomatis, tidak mungkin pihak ekstern yang melakukannya. Lalu siapa?
Ketika
ditanya perihal tersebut, pihak pengelola KBS mengatakan bahwa pihaknya profesional
dalam mengelola dan merawat semua satwa. Menurutnya, kondisi kandang singa di
tempat Michael berada telah berstandar internasional. Ia juga menambahkan bahwa
seluruh satwa setiap harinya selalau dicek kondisi kesehatannya dan diberikan
vitamin.
Uniknya,
michael diketahui tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Ketika ia dipindahkan
dari BKSDA Jawa Timur, Maret 2013 lalu, kondisi kesehatan Michael baik. Oleh
karena itu, kematian Michael benar-benar sangat menghebohkan. Seandainya
pelakunya berasal dari pihak intern, baik pengelola maupun pegawai yang
bersangkutan, maka ia akan dikenai pasal tindak kriminal.
Kematian
Michael bukan merupakan kematian yang pertama kalinya di KBS. Sehari
sebelumnya, seekor Gnu, yakni sebangsa persilangan banteng dan sapi juga
ditemukan mati di kandangnya akibat kembung. Bahkan berdasarkan statistik,
dalam 3 bulan terakhir, sebanyak 30 satwa ditemukan mati di KBS. Hal ini tentu
sangat mengejutkan dunia, sampai-sampai media di Inggris menyandangkan predikat
kebun binatang terkejam di dunia kepada KBS. Hal ini seharusnya membuat kita
malu karena dengan adanya insiden ini, tingkat kepercayaan dunia kepada kita
(baca: Indonesia) tentang perlindungan satwa-satwa semakin menurun.
Insiden
ini juga menunjukkan bahwa Indonesia bukan merupakan negara yang aman bagi
hewan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merebaknya penebangan liar yang
dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab terhadap hutan-hutan di
Indonesia. Hutan yang merupakan habitat asli dari hewan malah ditebang. Habis
tak bersisa. Menambah ironi ketika mengetahui bahwa Indonesia termasuk salah
satu negara dengan keanekaragaman fauna terbanyak di dunia, yakni mencapai
10.000 jenis satwa terdapat di Indonesia. Kalau rumah mereka terus ditebang
tanpa melakukan reboisasi, maka dapat dipastikan seluruh satwa yang terdapat di
Indonesia akan punah, dan itu akan berdampak secara global karena mayoritas
satwa yang ada di dunia berasal dari Indonesia.
Hasil Minim
dari Penangkaran/Konservasi
Sudah
banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah guna menyelamatkan satwa-satwa yang
ada dari kepunahan, mulai dari perlindungan hutan hingga membuat konservasi in
situ, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Kerinci, Taman
Nasional Komodo dan banyak lagi.
Selain
konservasi in situ, upaya lainnya adalah dengan konservasi ex situ, seperti
kebun binatang. Tujuan utama dari kebun binatang adalah menyelamatkan
hewan-hewan, terutama hewan langka, dengan cara mengisolasi mereka di suatu
tempat yang majemuk dan kolektif dengan perawatan khusus. Selain itu, kebun
binatang juga menjadi sarana bagi anak-anak untuk memberikan wawasan tentang
hewan.
Ironisnya,
tidak satupun tempat tinggal hewan aman. Mulai dari hutan hingga konservasi
sekalipun. Di tempat asalnya, mereka mati karena rumahnya ditebang. Lalu, di
konservasi, mereka mati karena kurang perawatan, kelaparan, sakit dan lain
sebagainya. Keadaan ini membuat hewan “frustasi” untuk mencari tempat tinggal
yang benar-benar aman.
Karena
kita tinggal satu bumi dengan hewan, maka kita juga harus membagi tempat
tinggal dengan hewan. Suatu negara juga harus memperhatikan kelangsungan hidup
hewan yang ada di negara tersebut. Hak-haknya harus terpenuhi. Secara tidak
langsung, hewan juga merupakan “rakyat” sebagaimana halnya manusia sebagai
rakyat. Bedanya, hewan hanya perlu dipenuhi haknya, sedangkan manusia juga
harus mnunaikan kewajibannya.
Di
negara-negara maju, hewan benar-benar sangat diperhatikan oleh pemerintahnya.
Misalnya Swiss, di sana hewan disubsidi pemerintah melalui APBN dan pengelolaannya
diserahkan seluruhnya kepada keperintah. Tidak ada kebun binatang di sana yang
dimiliki oleh swasta, apalagi perseorangan. Seluruhnya menjadi tanggungan
pemerintah. Tidak hanya itu, kondisi kebun binatang juga sangat nyaman bagi
hewan yang bersangkutan karena kandang didesain benar-benar persis seperti
habitat aslinya, serta nyaman bagi pengunjung. Oleh karena itu, pantas kalau
swiss mendapatkan predikat sebagai Kebun Binatang Terbaik di Dunia.
Namun,
kalau kita bandingkan dengan di Indonesia, maka kita tertinggal sangat jauh.
Mulai dari pengelolaannya, fasilitas, kebersihan, kenyamanan dan keamanan
satwa. Bukan hanya kalah dari Eropa, tetapi juga kalah dari negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura. Padahal, Indonesia memiliki beraneka ragam jenis
fauna yang ada di dunia. Berbeda dengan Singapura yang hampir tidak memiliki
hutan. Kalau ini dibiarkan, maka di masa mendatang, anak cucu kita tidak akan
dapat melihat dan menikmati satwa-satwa yang ada pada saat ini. Jangan sampai
mereka hanya mendengarkan cerita-cerita bak dongeng pengantar tidur.
Sterilisasi
Pengelolaan
Satu-satunya
cara tentunya adalah membenahi pengelolaan kebun binatang itu sendiri. Mulai
dari pengelola hingga pegawai harus mendapatkan pelatihan penyadaran akan
fauna. Nantinya, dalam pelatihan tersebut, dipilih pengelola dan pegawai yang
lolos uji kualifikasi dalam menanganikebun binatang.Kemudian, sebagai
pengontrol kerja dan evaluasi pekerja, maka mereka diberikan buku pemantau yang
digunakan sebagai evaluator dalam bekerja.
Kemudian,
masayarakat juga dilibatkan dengan memberikan penilaiannya terhadap kebun
binatang dengan cara menuliskannya di kotak saran yang tersedia di setiap
kandang, sehingga saran dapat fokus dan terukur. Kotak saran dibuat semenarik
mungkin bagi anak-anak sehingga mengundang hasrat mereka untuk mengisinya.
Secara tidak langsung, orang tua pun ikut memberikan sarannya. Hal ini penting
sebagai evaluasi satwa.
Dengan
pengelolaan yang baik, maka kematian hewan di kebun binatang tidak akan
terjadi. Tentunya, pengelolaan tersebut diperlukan partisipasi dan kesadaran
akan hewan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pengelola dan pengunjung
kebun binatang. Dengan demikian, anak cucu kita di masa mendatang dapat
menikmati satwa yang kita nikmati sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar