Filosofi Genteng |
Tahukah engkau genteng rumah?
Pernahkah engkau melihat tumpukan genteng di pinggir jalan, terbengkalai di
tanah dan pasir? Apa yang membedakannya dengan genteng yang berada di atas
rumah-rumah manusia? Apakah mereka terbuat dari bahan yang sama? Jika iya,
lalu, mengapa mereka berada di tempat yang berbeda?
Gamada independen, apakah yang
pertama kali engkau rasakan ketika melihat namamu di pengumuman jalur masuk
Teknik UGM? Apakah engkau merasa bahagia? Atau bahkan orang tuamu sampai
menangis melihat nama anaknya, kamu, di pengumuman tersebut? Apakah ribuan
pujian “selamat” untukmu mengalir dari orang-orang di sekitarmu? Banggakah
engkau? Jika iya, cukupkah hanya bangga?
Setiap manusia pasti memiliki
idealisme. Segala hal diharapkan
sesuai dengan keinginannya. Pun begitu ketika seorang siswa SMA sederajat
memasuki dunia peralihan dari siswa menjadi mahasiswa. Idealisme akan
pengetahuan, nilai, dan segala yang menurutnya baik akan ditanamkan di dalam
dirinya untuk diwujudkan. Ya, sebuah idealisme mahasiswa “bau kencur”.
Ada beberapa hal yang mesti ditanggalkan olehmu ketika memasuki dunia
perkuliahan, wahai mahasiswa “bau kencur”. Banyak orang yang menyebutnya
“pelacuran idealisme”. Menurut saya, hal ini tidak berlebihan karena memang
mahasiswa adalah sebuah pilihan yang “agak memaksa”. Saya katakan “agak
memaksa” karena memang kita dituntut oleh sistem untuk menjadi “hamba sahaya”
dunia. Sistem menuntut kita untuk tekun, patuh, dan lurus. Namun, kenyataannya
mahasiswa tadi menjadi tumpul, loyo, dan pengecut. Hanya paham teori tanpa tahu
esensi dan tujuan hidup.
Sengaja saya sampaikan pemahaman terkait “pelacuran idealisme” di atas agar
idealisme kalian, para mahasiswa “bau kencur”, tidak mudah disetir oleh sistem.
Tidak hanya itu, yang lebih parah lagi, idealisme kalian dikebiri oleh
sistem-sistem biadab yang mengedepankan materi, uang. Hegemoni ini diharapkan
benar-benar dipahami agar tak sesat dalam merangkak.
Untuk menyelamatkan idealisme kalian tersebut, kalian harus melakukan hal
yang membuat kalian disebut mahasiswa, yaitu kontribusi. Sebelum mengenal lebih
jauh makna kontribusi, lebih dulu kalian harus tahu bedanya gelar siswa dengan
mahasiswa. Hanya satu kata dan empat huruf yang membedakan keduanya, yaitu kata
“maha”. Sebuah kata sederhana yang dapat menyelamatkan kalian di dalam dunia
perkuliahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Maha” berarti sangat, teramat,
paling. Di dunia ini, hanya ada dua kata yang disematkan kata “Maha”, yaitu
Tuhan dan siswa. Tuhan disematkan kata “Maha” karena sifat dan kekuasaannya
yang tak terbatas, yang tidak dapat dinalar akal manusia. Sedangkan siswa
diimbuhi kata “Maha” karena perannya yang tak terbatas, terutama perannya di
masyarakat. Peran yang dimaksud adalah perannya untuk berkontribusi di
masyarakat.
"Di dunia ini, hanya ada dua kata yang disematkan kata “Maha”, yaitu Tuhan dan siswa"
Kembali lagi dengan analogi genteng di atas. Jika diperhatikan, maka
genteng yang berada di pinggir jalan biasanya usang, rusak, dan tak terpakai.
Ia menjadi tumpukan sampah yang tidak berguna, malah menambah masalah. Tidak
disukai, bahkan selalu ingin agar ia tak pernah ada. Bedakan dengan genteng
yang berada di atas rumah manusia. Sekecil apapun genteng yang terdapat di atas
rumah, ia turut menyumbang terlindunginya rumah manusia dari panas dan hujan. Jika
ada satu saja genteng yang hilang, maka hujan bisa membasahi isi rumah dan
membuat manusia menjadi tidak nyaman. Meskipun kecil, ia selalu dibutuhkan oleh
manusia untuk melindunginya dari hujan dan panas.
Pun demikian dengan engkau (yang katanya) mahasiswa. Jika memang benar
engkau mahasiswa, maka menjadi genteng yang berada di atas rumah manusia adalah
pilihannya. Memberi manfaat kepada sesama merupakan jalan yang harus ditempuh.
Menjadi mahasiswa yang bukan hanya sekadar menghafal rumus, tetapi juga mampu
mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Tak peduli apapun bentuk kontribusi yang
engkau berikan kelak, semua dibutuhkan masyarakat.
Sampah Genteng Terabaikan |
Harusnya engkau sadar bak ilustrasi genteng tadi, engkau dan jutaan
mahasiswa lainnya terbentuk dari sistem pendidikan yang sama. Yang membedakan
adalah output yang kalian akan berikan. Banyak sekali mahasiswa cerdas
dan pintar di dunia ini. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mau untuk
melakukan pengabdian dan kontribusi, meskipun mereka mampu. Jangan sekali-kali
engkau termasuk mahasiswa lupa akan esensi penyematan kata “Maha” pada gelar
“siswa”-mu. Tak malukah engkau pada genteng yang mampu melindungi manusia dari
hujan dan panas?
Logika logis yang dapat menjelaskan alasan fundamental kita harus mengabdi
kepada masyarakat adalah karena kita mahasiswa. Sebuah peribahasa yang berbunyi
“Yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir” tentu bisa menjelaskannya.
Kalian begitu beruntung bisa menjejali dunia perkuliahan, di UGM pula, sebuah
kampus kerakyatan (katanya). Banyak sekali saudara-saudara kita yang tidak
mampu menikmati bangku kampus. Maka menjadi satu kewajiban kalian, mahasiswa
“bau kencur” untuk menerapkan ilmu kepada masyarakat, khususnya mereka yang
kurang berpendidikan.
Peribahasa lain yang juga menjadi alasan untuk melakukan pengabdian
masyarakat adalah “Kacang tidak lupa pada kulitnya”. Kalau engkau sadar dari
mana segala “kenikmatan” yang engkau rasakan di kampus, maka engkau pasti ingin
segera untuk melakukan pengabdian. Seluruh fasilitas yang engkau nikmati di
kampusmu itu tidak lain berasal dari pajak negara. Asal engkau tahu, Uang
Kuliah Tunggal (UKT)-mu tidak mampu membiayai seluruh fasilitasmu di kampus.
Maka, di balik WiFi, AC, kebersihan toilet dll terdapat keringat
tukang becak, tukang sedot WC, penjual gorengan, petani, nelayan, dll. Oleh
karena itu, masih sanggupkah engkau untuk diam tanpa pengabdian di masyarakat.
Jika iya, pantaslah engkau disebut sebagai “penjahat negara”.
"Di balik WiFi, AC, kebersihan toilet dll terdapat keringat tukang becak, tukang sedot WC, penjual gorengan, petani, nelayan, dll"
Tulisan diutarakan di atas hanyalah sebuah alasan-alasan logis untuk
melakukan kontribusi dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Semua kembali
lagi kepada kalian, wahai mahasiswa “bau kencur”. Kalian sudah dewasa sekarang.
Bahkan, orang tua kalian sudah membiarkan kalian untuk nge-kos, bagi
yang rumahnya jauh. Seorang mahasiswa yang baik adalah seorang mahasiswa yang
independen. Bukanlah seorang mahasiswa yang mudah disetir dan diintervensi oleh
pihak manapun, terutama oleh sistem. Semoga pilihan kalian untuk mengabdi
adalah atas dasar keinginan kalian. Saya harap, Anda punya akal. [Prof. AFD]
0 komentar:
Posting Komentar