Berbicara tentang Indonesia, maka kita akan berbicara
tentang sebuah negara yang besar. Dengan bentang negara seluas London sampai
Teheran dan jumlah penduduknya yang tergolong besar, yaitu menempati peringkat
ke-4 sebagai negara terpadat di dunia setelah China, Amerika Serikat dan India,
maka pasti dalam pemerintahannya akan menemui berbagai problematika, salah
satunya tentang pendidikan.
Seperti yang kita ketahui bersama, Pendidikan Indonesia
saat ini secara peraturan memang bagus. Kementerian Pendidikan saat ini sedang
menggalakkan yang sebuah sistem pendidikan yang bernama “Pendidikan Karakter”.
Menteri Pendidikan mulai menyadari peran penting perubahan perilaku dalam
proses pendidikan atau pembelajaran, karena para siswa atau lulusan zaman
sekarang hanya teruji sebatas intelektual semata, tanpa memiliki nilai moral
yang bagus. Hal ini dibuktikan dengan semakin merajalelanya tawuran kalangan
pelajar di berbagai daerah. Selain itu, semakin merebaknya praktik-praktik
korupsi di negara tercinta ini. Menurut data statistik, Indonesia mendapat
posisi sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik.
Jika secara peraturan sistem Pendidikan Indonesia baik,
namun secara aplikatif, Pendidikan Indonesia belum begitu baik atau bisa
dikatakan buruk. Masih banyak sekolah-sekolah yang tidak menerapkan sistem
Pendidikan Karakter tersebut. Bahkan sebagian besar di antaranya mengajarkan
siswa-siswanya untuk melakukan tindakan sebaliknya. Contohnya bisa kita lihat
pada saat Ujian Nasional (UN). Pada saat itu, banyak ditemukan praktik-praktik
kecurangan yang dilakukan pihak sekolah kepada murid-muridnya, seperti
memberikan contekan jawaban. Ironis memang.
Tetapi kalau kita berbicara tentang UN, maka sebenarnya
terdapat beberapa kontradiksi di dalamnya. Pemerintah sebagai penyelenggara UN
beralasan adanya UN merpakan untuk meratakan standar pendidikan dan peningkatan
standar kualitas pendidikan di Indonesia. Namun di dalam pelaksanaanya,
ternyata UN ini menimbulkan potensi yang sangat besar untuk melakukan
kecurangan, seperti membeli jawaban, mencontok teman, menyuap pengawas dan lain
sebagainya hanya agar ia lulus dan mendapat ijazah. Hal ini tentu sangat kontradiktif
dengan sistem pendidikan galakkan pemerintah sekarang, yakni Pendidikan
Karakter.
Banyak pihak yang menilai bahwa kelulusan UN tidak bisa
dijadikan standar sebagai pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Alasan
ini didasari oleh fakta lapangan yang tidak mendukung terciptanya tujuan
tersebut, baik melalui UN sendiri maupun persiapannya. Masih banyak
sekolah-sekolah di daerah pinggiran Indonesia yang belum mendapatkan fasilitas
pendidikan, baik pendidik maupun prasarana, yang tidak memadai. Pemerintah
melalui UN ingin membuat semua standar pendidikan di Indonesia itu sama, namun
faktanya tidak.
Pelaksanaan UN sendiri juga dianggap tidak fair. Pendapat
ini didasari oleh kemampuan siswa yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Siswa dituntut untuk monoton terhadap pelajarannya. Kemudian juga
pelaksanaan UN seakan hanya berorientasi kepada kelulusan semata (baca: ijazah),
bikan kepada kemampuan lagi. Hal inilah yang membuat siswa-siswa Indonesia kalah
kreatifdengan pelajar lainnya.
Kalau kita bercermin kepada negara-negara lain yang
memiliki kualitas pendidikan yang baik, maka kita tidak akan menemui sistem
semacam UN di dalam pendidikannya. Mereka berorientasi kepada kemampuan dan
ilmu pengetahuan serta bakat anak didik. Mereka memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada peserta didik untuk menekuni bidang bakatnya
masing-masing dengan bantuan apresiasi melalui institusi-institusi serta tenaga
pendidik yang memadai. Oleh karena itu jangan heran kalau kualitas pendidikan
di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan lain sebagainya
masih lebih tinggi daripada di Indonesia.
Realita ini semakin diperkuat dengan semakin banyaknya
pelajar Indonesia yang pergi merantau ke luar negeri untuk mencari pendidikan
dengan kualitas yang lebih baik. Selain mendapatkan ilmu intelektual,
merekajuga mendapatkan ilmu sosial dalam prosesnya. Menurut data statistik
bahwa setiap tahunnya pelajar Indonesia yang merantau ke luar negeri untuk
mencari ilmu semakin bertambah. Hal ini juga didukung oleh semakin menjamurnya
organisasi-organisasi pemberi beasiswa ke luar negeri.
Tidak hanya menuntut ilmu semata, perantauan mereka ke
luar negeri juga dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan di negara mesing-masing.
Tidak hanya itu, bahkan banyak di antara mereka yang menetap cukup lama dan ada
yang tidak pulang ke Indonesia hingga akhir hayatnya setelah menamatkan
studinya di sana. Mereka melakukan hal tersebut dikarenakan mereka beranggapan
bahwa jaminan kesejahteraan di sana lebih terjamin daripada mereka balik lagi
ke Indonesia. Apalagi bagi yang sudah menamatkan S3 nya di luar negeri. Ia
merasa ilmunya yang sudah sulit didapat ternyata tidak berguna di Indonesia.
Anis Baswedan di dalam emailnya yang dikirim kepada
pelajar Indonesia yang berada di Jepang mengatakan bahwa sebaiknya setelah
mereka menamatkan studinya di luar negeri, maka jangan langsung buru-buru
pulang, tetapi lebih baik menetap sementara dan bekerja di sana. Meskipun
alasannya untuk mendapatkan pengalaman lebih, namun ini menunjukkan kepada kita
secara jelas bahwa memang Indonesia belum mampu memanfaatkan hasil studi
putra-putrinya dari luar negeri untuk berkontribusi bagi Indonesia sendiri.
Habis manis, sepah dibuang. Inilah mungkin pribahasa yang
sesuai disematkan kepada bangsa
Indonesia. Dengan berbagai macam aturan yang dibuat, ternyata hanya
mengantarkan putra-putrinya ke luar negeri dan mengabdi di sana. Memberikan
benih kepada negara lain tanpa dapat merasakan hasil dari ilmu mereka untuk
bangsa ini sendiri. Sungguh sebenarnya ini adalah sebuah dilema mendalam bagi
Indonesia, mengingat negara yang besar dengan begitu banyak potensi Sumber Daya
Manusia (SDM) yang dapat dimanfaatkan.
Untuk SDM sendiri sebenarnya Indonesia sudah tidak perlu
khawatir lagi, karena sudah banyak sekali anak bangsa yang mengharumkan nama
Indonesia melalui torehan prestasinya di ajang internasional. Sudah berapa
banyak medali yang telah diraih anak bangsa bagi Indonesia sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya kualitas SDM Indinesia itu sendiri sudah terasah
dengan baik, tinggal bagaimana caranya hal ini dapat dimanfaatkan oleh
Indonesia.
Pengadaan
sarana dan prasarana serta kesempatan bagi anak bangsa
Permasalahan sebenarnya terletak pada ketersediaan sarana
dan prasarana serta kesempatan untuk mengembangkannnya dan memanfaatkannya.
Ilmu-ilmu yang telah diraih anak bangsa di luar negeri itu bukanlah remeh,
melainkan sangat berguna dan dapat memajukan Indonesia sendiri. Namun, bangsa
ini seakan tidak membutuhkannya untuk kepentingan bangsa, selalu memprioritaskan
kepentingan pribadi. Padahal, saat ini bangsa ini sedang giat membangun untuk
menjadi bangsa yang maju dan beradab.
Hal pahit ini terus saja terjadi, ketika anak bangsa yang
pulang ke Indonesia ingin mempraktikkan ilmunya, ia kebingungan, akhirnya ia
pun memilih untuk kembali ke negara asal ia menimba ilmu atau hanya sekadar
menjadi seorang guru maupun dosen.
Memang pekerjaan guru atau dosen itu sangatlah mulia,
namun apabila seluruh orang yang berpotensi di bidang khusus tertentu, kemudian
hanya menjadi seorang guru, maka bangsa ini juga tidak akan maju. Suatu bangsa
itu memerlukan sosok seorang guru dan sosok seorang profesional untuk mengolah
negara ini sesuai keahliannya.
Namun hal ini luput dari stigma pemerintah. Pemerintah
selalu hanya berpikir saat ini, namun tidak untuk mendatang. Stigma ini membuat
rakyatnya menjadi tidak berkembang. Akhirnya, negara ini hanya puas melakukan
hal yang sama setiap hari dan tidak mau dinamis, mengakibatkan ketidakmajuan
dan kejumudan kondisi.
Sebenarnya perusahaan-perusahaan di Indonesia ini banyak.
Ini artinya banyak pula harusnya lapangan kerja bagi negara ini. Tetapi
ternyata anak bangsa hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan
wilayah. Sebagaimana kita ketahui bahwa, hampir 80% dari jumlah pekerja
Indonesia di perusahaan asing bekerja sebagai karyawan tingkat rendah. Hanya
beberapa saja yang mendapatkan posisi strategis.
Tidak hanya itu, Indonesia juga terus saja memberikan
lampu hijau secara membabi buta kepada perusahaan asing yang masuk ke
Indonesia. Ini terjadi karena Indonesia sudah masuk dalam perjanjian pasar
bebas internasional. Akibatnya, anak bangsa tidak memiliki kesempatan untuk
mengembangkan usahanya sendiri di negaranya sendiri.
Berbicara masalah pasar bebas internasinal, sebenarnya
Indonesia sudah terjebak dengan praktik Kapitalisme terang-terangan. Praktik
ini mempersilakan bagi orang yang punya banyak uang untuk berinvestasi meskipun
pihak kecil menjadi korban. Ini membuat para pemodal asing dapat seenaknya
masuk ke Indonesia untuk berinvestasi. Korbannya tentu saja rakyat Indonesia
sendiri.
Islam sebenarnya telah mengajarkan cara berinvestasi yang
baik. Islam melarang praktik Kapitalisme karena memang praktik ini membuat
ketimpanagn dan kerugian yang luar biasa. Saya bukan bermaksud untuk mengatakan
kalau Indonesia harus menjadi negara Islam, tetapi seharusnya Indonesia bisa
lebih berpikir kritis dan jernih dalam mengambil sebuah kesepakatan. Jika
tidak, akhirnya akan banyak pihak yang akan dirugikan nantinya.
Sedih sebenarnya bila mengetahui bahwa Indonesia yang
dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tidak dapat
mengambil pelajaran untuk negaranya melalui agama Islam itu sendiri. Kita
sebagai Muslim harusnya prihatin karena agama kita ternyata hanya sebatas
ritual, tidak sampai universal. Hal ini dibuktikan tidak ada percikan
sedikitpun dari hukum dan praktik yang berlaku di Indonesia ini.
Kondisi sekarang ini sebenarnya memiliki solusi, karena
memamng setiap masalah itu memiliki solusi masing-masing. Setiap solusi itu
bisa berupa saran maupun bentuk aplikatif. Solusi pasti dapat menyelesaikan,
meski kadang lama, suatu masalah yang kita hadapi.
Pada tahun 2014 nanti, Indonesia akan merayakan pesta
demokrasi besar, yaitu pemilu. Indonesia akan memasuki periode ketiga dalam
melakukan pemilihan secara langsung sejak pertama kalinya pada tahun 2004
dengan presiden terpilih adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rakyat
Indonesia akan melakukan periode yang ketiga dengan 10 partai politik (parpol)
yang lolos seleksi peserta pemilu, banyak berkurang daripada periode
sebelumnya.
Kondisi politik Indonesia beberapa bulan belakangan ini
memang sedang merosot, apalagi sejak pimpinan partai penguasa tersandung
skandal kasus korupsi. Kasus tersebut menyeret beberapa nama petinggi negara
ini. Akhirnya mereka harus terlibat dengan proses hukum dan meninggalkan
jabatan mereka untuk menyelesaikan kasusnya. Hal ini mengakibatkan stabilisasi
bangsa terganggu.
Yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan adalah kasus korupsi
oleh petinggi salah satu partai politik islam. Partai tersebut yang seharusnya
menjadi tempat aspirasi umat islam kepada negara ini ternyata telah
menyalahgunakan jabatannya. Akhirnya rakyat pun jadi tidak yakin lagi terhadap
partai tersebut dan para kadernya. Ini membuat peluang partai-partai non islam
untuk menguasai negeri ini lebih besar.
Kembali kepada permasalahan awal, yakni tentang pengadaan
sarana dan prasarana serta kesempatan bagi anak bangsa, maka sebenarnya
Indonesia dapat mengatasinya dengan menerapkan sistem nasionalisme. Sistem ini
mengutamakan nilai-nilai nasional atau peran anak bangsa dalam mengurusi dan
memajukan negeri ini. Jadi, dalam menyetujui pembangunan investor asing ke
Indonesia, Indonesia harus menimbang eksistensi anak bangsa dalam proyek yang
tidak jauh beda.
Sistem di atas juga dapat menjauhi dan menghilangkan
praktik-praktik kapitalisme di Indonesia. Dengan hilangnya praktik kapitalisme
di Indonesia, maka kesempatan Indonesia untuk menjadi negara maju akan cepat
tercapai, karena selama ini praktik kapitalisme menghambat bangsa ini untuk
menjadi mandiri, melalui ketiadaan peran anak bangsa di dalamnya.
Misalnya seperti pembangunan perusahaan mesin oleh
investor asing ke Indonesia. Sebelum pemerintah menyetujui perjanjian investasi
tersebut, pemerintah harus menimbang potensi anak Indonesia untuk membuat hal
yang serupa. Sudah banyak anak Indonesia yang menjadi ahli mesin dan ahli
manajemen yang malah bekerja di luar negeri karena tidak punya tempat di
Indonesia. Kemudian, pemerintah akan memberikan perjanjian tersebut kepada anak
bangsa dengan pertimbangan nasionalisme dan profesionalisme. Dengan sistem
nasionalisme, maka peluang anak Indonesia akan lebih besar dalam mengembangkan
negaranya sendiri, karena sebenarnya, bangsa yang maju itu berasal dari
kekuatan utama anak bangsanya sendiri.
Pemanfaatan anak bangsa dalam kemajuan bangsa sebenarnya
juga lebih efisien dan efektif, karena biaya yang dikeluarkan oleh negara tidak
akan begitu besar. Selain itu juga jika anak bangsa yang memprakarsainya, maka
secara tidak langsung pendapatannya akan kembali kepada Indonesia juga. Dan ini
juga dapat membuat lapangan kerja yang besar bagi berbagai kalangan pada
bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menerapkan
sistem nasionalisme dalam peraturan perundang-undangannya dan pemerintahannya
agar memperoleh kemajuan.
Selanjutnya saran bagi pemerintah agar bisa membuat
peraturan yang lebih mendukung dan berpihak kepada bangsa sendiri. Saat ini
masih banyak dari mperaturan yang ada lebih berpihak kepada pihak luar atau
bangsa asing dan memojokkan rakyat sendiri. Dengan berlakunya hukum yang jelas
dan tegas, maka pelaksanaannya juga akan lebih formal dan lebih tegas.
Kemudian bagi presiden yang baru nanti agar bisa menetapkan
parlemennya sesuai dengan kemampuan dan berhati nasionalis, agar
peraturan-peraturan yang berlaku dapat memajukan Indonesia melalui tangan
putra-putrinya. Jika ini tidak dilakukan, maka pada tahun 2014 nanti, kondisi
ini akan terus berulang bahkan hingga zaman berakhir. Tetapi jika pemerintah
sadar akan ini, maka Insya Allah, tahun 2014 nanti, Indonesia akan memulai
merasakan kemajuannya sedikit demi sedikit.
0 komentar:
Posting Komentar