Jumat, 18 April 2014

Runtuhnya Hakikat Pendidikan di Indonesia


Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia di manapun berada. Pendidikan dapat menentukan kualitas manusia dan bangsanya. Jika pendidikannya baik, maka baik pula manusia dan negaranya, begitu pun sebaliknya.

Pendidikan memiliki makna penanaman nilai-nilai kepada seseorang agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Ia mencakup kognitif, afektif dan psikomotor seseorang. Ketiga aspek itu harus terpenuhi. Jika salah satu dari ketiga aspek itu tidak terpenuhi, maka seseorang belum bisa dikatakan mendapatkan pendidikan yang sebenarnya. Namun, di Indonesia, pendidikan memiliki makna yang sangat sempit, yaitu hanya proses belajar menajar formal di dalam kelas. Cukup.

Pendidikan seharusnya tidak hanya sekadar ‘transfer ilmu’ belaka antar guru dan murid melalui pembelajaran di kelas. Sekolah tidak hanya menjadi ladang untuk mendapatkan buku-buku berisi soal-soal yang harus anda kerjakan dan guru menjadi ‘pelumas’ dalam mengerjakannya. Ketika anak-anak hanya paham akan soal-soal yang ia kerjakan, namun tidak pernah mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dalam bersekolah, maka ia tidak akan pernah merasakan pendidikan yang seutuhnya.

Kalau kita menelaah sistem pendidikan di Indonesia saat ini, maka kita akan menemukan ketidakpaduan dari tiga aspek yang diapaparkan sebelumnya. Sistem pendidikan negeri ini masih terlalu menonjolkan sisi kognitifnya saja, bahkan tidak mencakup sisi afektif dan psikomotor. Memang, saat ini pemerintah sedang menggedor-gedorkan tentang pendidikan karakter melalui kurikulum 2013. Pemerintah mencoba menyisipkan nilai-nilai di dalam seluruh mata pelajaran. Misalnya pelajaran fisika, maka ketika belajar fisika, guru harus menyampaikan nilai etika yang terdapat di dalam materi yang sedang diujikan, contoh gerak lurus.
Pemerintah terkesan gelagapan akan kebijakan yang diambilnya. Dengan citra yang mulai memburuk di mata masyarakat melalui masalah problematika Ujian Nasional (UN) kemarin, pemerintah ingin menunjukkan kepiawaiannya dalam kurikulum 2013 kali ini. Namun, pemerintah seperti tidak mengubah apa-apa dari sistem sebelumnya. Pemerintah hanya ‘membungkus’ sistem yang lama dengan nama ‘Pendidikan Karakter’. Padahal, dengan kurikulum yang baru ini, pemerintah tetap tidak berhasil menempatkan ketiga aspek pendidikan tadi di dalam kurikulum 2013.

Kita lihat saja di Indonesia, ketika seorang anak yang baru lulus Taman Kanak-Kanak (TK) ingin masuk ke Sekolah Dasar (SD). Salah satu syaratnya adalah anak tersebut harus sudah bisa membaca. Ini artinya, ketika TK, ia terus dijejal dengan kondisi bahwa ia harus bisa membaca, melupakan aspek bermain yang memang merupakan masanya. Ia hanya bermain perosotan ketika berada di halaman, dan bernyanyi ria di kelas. Namun, secara tidak langsung, ia ‘dipaksa’ untuk bisa membaca, meskipun ia sebenarnya belum mampu. Menurut penelitian, usia 4-5 tahun adalah masa ketika ia sedang asyik-asyiknya bermain, bukan ‘membaca’.

Terkesan sepele memang bagi orang luar – pemerintah dan orang tua– yang mengganggap bahwa ketika anak sudah bisa membaca di usia dini, maka ia adalah anak yang pintar. Orang tua akhirnya pun memasukkan anaknya ke les agar ia bisa membaca dan masuk SD favorit. Padahal, dengan kondisi seperti itu, daya kreativitas anak yang harusnya berkembang lewat bermain, harus kandas dengan bosannya les dan belajar formal.

Ketika hendak tamat dari bangku SMP, kita harus melalui UN terlebih dahulu, dengan konsekuensi lulus atau tidak lulus. Jika lulus, maka ia bisa lanjut ke SMA, namun kalau tidak lulus, maka ia harus mengulang setahun lagi. Seakan-akan, nilai luhur pendidikan seumur hidup ditentukan oleh lembar jawaban UN. Anak-anak terus dijejali dengan soal-soal yang memberatkan, namun tidak paham akan konsepnya. Akhirnya mereka hanya menjadi mesin penjawab soal. Kondisi stres yang dialami ketika masa-masa UN juga me
nunjukkan kalau ternyata, sistem pendidikan indonesia belum memadukan ketiga aspek pendidikan tadi.
Kalau kita melihat sistem pendidikan negara lain, maka ketiga aspek tadi sudah terpenuhi. Di Inggris, TK adalah tempat bermain penuh bagi anak-anak. Di sana mereka tidak memaksakan anak-anak harus bisa membaca sebelum masuk SD. Bahkan, anak-anak hanya diajari beberapa huruf saja, ketika SD baru mulai belajar membaca.

Selain itu, pendidikan di sana benar-benar menekankan kepada konsep, sehingga mudah diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pelajaran biologi. Anak-anak akan diajari tentang satu macam hewan saja, contohnya laba-laba. Nah, nanti selama seminggu anak-anak akan belajar tentang laba-laba. Pekerjaan rumah (PR) nya pun tidak mengerjakan soal yang sangat banyak seperti di Indonesia, namun menangkap laba-laba. Sehingga mereka lebih mudah dalam memahaminya dan merasakan kepuasan saat menangkapnya. Dengan cara ini, anak-anak akan lebih mudah menyerap pelajaran ketimbang menghafalkannya dari buku-buku semata.

Oleh karena itu, seharusnya kita bercermin kepada negara lain agar pendidikan kita benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh anak bangsa kita, tidak sekadar mengerjakan soal belaka. Jangan hanya mengedepakan eoisme semata dalam membuat kebijakan. Dengan begitu, Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten akan mudah terbentuk dan membangun negeri ini menjadi negara yang adidaya dan sejahtera.

0 komentar:

Posting Komentar