Pendidikan merupakan kebutuhan
dasar bagi setiap manusia di manapun berada. Pendidikan dapat menentukan
kualitas manusia dan bangsanya. Jika pendidikannya baik, maka baik pula manusia
dan negaranya, begitu pun sebaliknya.
Pendidikan memiliki makna
penanaman nilai-nilai kepada seseorang agar sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat. Ia mencakup kognitif, afektif dan psikomotor seseorang.
Ketiga aspek itu harus terpenuhi. Jika salah satu dari ketiga aspek itu tidak
terpenuhi, maka seseorang belum bisa dikatakan mendapatkan pendidikan yang
sebenarnya. Namun, di Indonesia, pendidikan memiliki makna yang sangat sempit,
yaitu hanya proses belajar menajar formal di dalam kelas. Cukup.
Pendidikan seharusnya tidak hanya
sekadar ‘transfer ilmu’ belaka antar guru dan murid melalui pembelajaran di
kelas. Sekolah tidak hanya menjadi ladang untuk mendapatkan buku-buku berisi
soal-soal yang harus anda kerjakan dan guru menjadi ‘pelumas’ dalam
mengerjakannya. Ketika anak-anak hanya paham akan soal-soal yang ia kerjakan,
namun tidak pernah mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dalam bersekolah, maka
ia tidak akan pernah merasakan pendidikan yang seutuhnya.
Kalau kita menelaah sistem
pendidikan di Indonesia saat ini, maka kita akan menemukan ketidakpaduan dari
tiga aspek yang diapaparkan sebelumnya. Sistem pendidikan negeri ini masih
terlalu menonjolkan sisi kognitifnya saja, bahkan tidak mencakup sisi afektif
dan psikomotor. Memang, saat ini pemerintah sedang menggedor-gedorkan tentang
pendidikan karakter melalui kurikulum 2013. Pemerintah mencoba menyisipkan
nilai-nilai di dalam seluruh mata pelajaran. Misalnya pelajaran fisika, maka
ketika belajar fisika, guru harus menyampaikan nilai etika yang terdapat di
dalam materi yang sedang diujikan, contoh gerak lurus.
Pemerintah terkesan gelagapan
akan kebijakan yang diambilnya. Dengan citra yang mulai memburuk di mata
masyarakat melalui masalah problematika Ujian Nasional (UN) kemarin, pemerintah
ingin menunjukkan kepiawaiannya dalam kurikulum 2013 kali ini. Namun,
pemerintah seperti tidak mengubah apa-apa dari sistem sebelumnya. Pemerintah
hanya ‘membungkus’ sistem yang lama dengan nama ‘Pendidikan Karakter’. Padahal,
dengan kurikulum yang baru ini, pemerintah tetap tidak berhasil menempatkan
ketiga aspek pendidikan tadi di dalam kurikulum 2013.
Kita lihat saja di Indonesia, ketika
seorang anak yang baru lulus Taman Kanak-Kanak (TK) ingin masuk ke Sekolah
Dasar (SD). Salah satu syaratnya adalah anak tersebut harus sudah bisa membaca.
Ini artinya, ketika TK, ia terus dijejal dengan kondisi bahwa ia harus bisa
membaca, melupakan aspek bermain yang memang merupakan masanya. Ia hanya
bermain perosotan ketika berada di halaman, dan bernyanyi ria di kelas. Namun,
secara tidak langsung, ia ‘dipaksa’ untuk bisa membaca, meskipun ia sebenarnya
belum mampu. Menurut penelitian, usia 4-5 tahun adalah masa ketika ia sedang
asyik-asyiknya bermain, bukan ‘membaca’.
Terkesan sepele memang bagi orang
luar – pemerintah dan orang tua– yang mengganggap bahwa ketika anak sudah bisa
membaca di usia dini, maka ia adalah anak yang pintar. Orang tua akhirnya pun
memasukkan anaknya ke les agar ia bisa membaca dan masuk SD favorit. Padahal,
dengan kondisi seperti itu, daya kreativitas anak yang harusnya berkembang
lewat bermain, harus kandas dengan bosannya les dan belajar formal.
Ketika hendak tamat dari bangku
SMP, kita harus melalui UN terlebih dahulu, dengan konsekuensi lulus atau tidak
lulus. Jika lulus, maka ia bisa lanjut ke SMA, namun kalau tidak lulus, maka ia
harus mengulang setahun lagi. Seakan-akan, nilai luhur pendidikan seumur hidup
ditentukan oleh lembar jawaban UN. Anak-anak terus dijejali dengan soal-soal
yang memberatkan, namun tidak paham akan konsepnya. Akhirnya mereka hanya
menjadi mesin penjawab soal. Kondisi stres yang dialami ketika masa-masa UN
juga me
nunjukkan kalau ternyata, sistem pendidikan indonesia belum memadukan
ketiga aspek pendidikan tadi.
Kalau kita melihat sistem
pendidikan negara lain, maka ketiga aspek tadi sudah terpenuhi. Di Inggris, TK
adalah tempat bermain penuh bagi anak-anak. Di sana mereka tidak memaksakan
anak-anak harus bisa membaca sebelum masuk SD. Bahkan, anak-anak hanya diajari
beberapa huruf saja, ketika SD baru mulai belajar membaca.
Selain itu, pendidikan di sana
benar-benar menekankan kepada konsep, sehingga mudah diterapkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya pelajaran biologi. Anak-anak akan diajari
tentang satu macam hewan saja, contohnya laba-laba. Nah, nanti selama seminggu
anak-anak akan belajar tentang laba-laba. Pekerjaan rumah (PR) nya pun tidak
mengerjakan soal yang sangat banyak seperti di Indonesia, namun menangkap
laba-laba. Sehingga mereka lebih mudah dalam memahaminya dan merasakan kepuasan
saat menangkapnya. Dengan cara ini, anak-anak akan lebih mudah menyerap
pelajaran ketimbang menghafalkannya dari buku-buku semata.
Oleh karena itu, seharusnya kita
bercermin kepada negara lain agar pendidikan kita benar-benar bisa dirasakan
manfaatnya oleh anak bangsa kita, tidak sekadar mengerjakan soal belaka. Jangan
hanya mengedepakan eoisme semata dalam membuat kebijakan. Dengan begitu, Sumber
Daya Manusia (SDM) yang kompeten akan mudah terbentuk dan membangun negeri ini
menjadi negara yang adidaya dan sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar