Minggu, 01 April 2018

Kekalahan PSMS dan Kasus Suap 38 Anggota DPRD Sumut


Liga 1 baru saja dimulai. Ya, liga ini merupakan liga sepak bola di Indonesia yang menggantikan liga sebelumnya. Hal yang membedakannya adalah pihak mitra penyelenggaranya. Ditambah lagi, ada ketambahan tim-tim baru, seperti Bhayangkara FC, dll. Selain itu juga ada beberapa tim yang promosi dari Liga 2.

Nah, tapi yang menarik adalah promosinya PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya) di Liga 1 ini. Setelah dulu sempat berjaya di masa-masa 2007-an, atau masa-masa Mahyadi dkk, PSMS harus merasakan kejatuhan dengan buruknya manajemen tim. Alhamdulillah, tahun 2018 mereka bisa kembali menunjukkan kemampuannya dengan menjadi semifinalis Piala Presiden 2018, dan promosi ke Liga 1 ini.

Sebagai bentuk dukungan dan apresiasi, saya selalu menonton PSMS berlaga di Liga 1, tentu saja menonton di televisi. Biasanya saya menonton bareng sama teman satu SMP-SMA saya di kosnya, biar seru. Meskipun dua kali pertandingan ini, PSMS masih harus merasakan kekalahan, yakni melawan Bali United dan Bhayangkara FC.

Setelah sedikit kecewa PSMS kalah, lalu ternyata kekecewaan itu harus bertambah lagi. Ya, setelah nonton bareng tersebut, saya menonton berita yang isinya adalah Penetapan Tersangka kepada 38 Anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2012-2019 atas dugaan kasus Penyuapan yang dilakukan oleh terpidana – Mantan Gubernur Sumatera Utara – Gatot Pujo Nugroho yang sekarang sudah menjadi tahanan KPK [1]. Masygul. Ibarat luka terbuka yang ditaburi garam. Sangat perih.

Penetapan ini dilakukan oleh KPK melalui surat yang dikeluarkan oleh KPK kepada Ketua DPRD Sumut, Warigin Arman, tanggal 29 Maret 2018 dengan surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 28 Maret 2018. Meskipun melibatkan anggotanya di parlemen, Warigin mendukung penyelidikan oleh KPK. Namun, dia meminta agar situasi tersebut tidak membuat warga geger agar stabilitas tetap terjaga karena, menurutnya, Sumut merupaan barometer (keamanan) nasional. Lagian, semuanya belum tentu bersalah, menurut Warigin.

Bagi saya, kabar ini kaget gak kaget. Kaget karena ternyata yang terlibat dalam kasus tersebut sebanyak 38 orang. Sebelumnya juga sudah ada anggota DPRD Sumut yang terjerak kasus yang sama, hanya jumlahnya tidak sebesar ini. Adapun yang membuat tidak kaget adalah karena hal tersebut terjadi di Sumatera Utara, yang sudah ”terkenal” dengan trackrecord-nya di kasus-kasus korupsi. Ironi memang. Tapi, demikianlah nyatanya.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2017 pada 12 kota di Indonesia, Kota Medan menempati posisi terendah dengan 37,4 poin [2]. Meski hanya 12 kota yang disurvey, tetapi hal ini menggambarkan bagaimana korupsi masih melekat erat di kota tersebut [3]. Hal ini didukung oleh penetapan tersangka Walikota Medan, mulai dari Abdillah, Rahudman, dll.

Tidak hanya itu, Provinsi Sumut pun seakan tidak mau kalah dengan ibu kotanya sehingga menempatkan dirinya sebagai provinsi terkotup menurut versi ICW pada tahun 2015 [4]. Bahkan menurut versi KPK, Sumut termasuk jajaran 3 besar provinsi paling korup di negeri ini [5]. Tak heran jika kita melihat para gubernurnya yang seperti menunggu antrian untuk dipanggil KPK, mulai dari Syamsul Arifin hingga Gatot. Berdoa saja Tengku Erry tidak ikut “mengantri”.

Sebenarnya, KKN itu sudah sangat melekat di Sumut. Bahkan, ada satiran yang mengatakan bahwa singkatan SUMUT adalah Semua Urusan Menggunakan Uang Tunai. Ironis sekali, bukan? Sebagai salah satu provinsi besar, maka kasus-kasus korupsi tersebut memberikan pengaruh buruk bagi provinsi sekitarnya. Jika dikatakan Warigin bahwa Sumut adalah barometer, maka kasus korupsi yang terjadi di Sumut mungkin bisa jadi barometer kondisi bangsa ini. Ini menurut saya, sih.

Melihat praktik KKN di Sumut, maka kita cuma bisa gigit jari saja. Bagaimana tidak? Stereotipe yang terbangun di masyarakat adalah pola pikir KKN. Akan sering terdengar, “Kalau mau cepat, ya bayar lah”, “Kalau gak ada orang dalam, mana bisa?”, “Realistis aja lah, duit semuanya itu”, atau kalimat-kalimat lainnya yang sejenis. Apakah kalian merasakan kepedihan itu? Kalau terasa biasa-biasa saja, maka pasti ada yang salah. Semoga saja kita sama-sama resah ya.

Kembali lagi menanggapi kasus penetapan anggota DPRD Sumut tadi. Sebagai warga asli Medan, maka secara pribadi saya merasa malu. Selain itu, saya juga merasa semakin tertekan karena kasus tersebut memberikan tanda bagai saya agar lebih kuat pundaknya untuk membenahi kondisi tersebut. Ya, tambahan tugas bagi kami generasi muda Sumut.

Meskipun demikian, saya tetap harus optimis bahwa Sumut, dan Medan, bisa menjadi kota yang luhur. Keluhuran tersebut meliputi pemberdayaan masyarakatnya, sistem pemerintahannya, tata kotanya, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dicapai melalui semangat para pemudanya yang sejak sekarang memikirkan tentang daerah asalnya, dalam hal ini Sumut.

Parameter dasar yang menjadi acuan apakah pemudanya bisa diandalkan atau tidak di masa mendatang adalah, mereka merasa resah dan tidak sepakat dengan kondisi Sumut yang sekarang. Jika merasa aman-aman saja, maka melalui tulisan ini, saya ajak untuk sama-sama merasakan resah dengan semua praktik negatif di provinsi Sumut.



“Boleh kecewa dengan pemerintahannnya, tetapi haram pesimis dengan provinsinya”


Pemuda Medan,

Abiyyu Fathin Derian



Referensi: