Jumat, 17 Januari 2014

Hewan dan Tempat Tinggalnya

Tragedi kematian hewan di kebun binatang kembali terjadi. Kali ini, seekor singa Afrika bernama Michael yang berusia 1,5 tahun ditemukan mati dengan posisi leher terjerat kawat selingseperti posisi bunuh diri di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Bangkainya ditemukan oleh petugas kebun binatang pukul 07.00 WIB pada Selasa (7/1/2014).

Kematian Michael dinilai janggal. Kawat seling yang menjerat Michael merupakan kawat seling yang digunakan untuk membuka dan menutup pintu kandang. Dengan posisi terjerat kawat seling, tidak mungkin Michael terjerat kawat seling dengan sendirinya apalagi bunuh diri dengannya. Pasti ada yang menggantung hewan tersebut.

Michael mati disebabkan kekurangan udara pada rongga pernapasannya. Di tubuhnya juga tidak ditemukan kerusakan organ. Keadaan ini akhirnya menimbulkan banyak spekulasi, di antaranya yakni Michael telah mati terlebih dahulu baru kemudian digantung oleh seseorang, baik dari pihak intern atau ekstern. Namun, sepertinya tidak mungkin pihak ekstern yang menggantung Michael karena bangkainya ditemukan pada pagi hari saat kebun binatang belum buka. Otomatis, tidak mungkin pihak ekstern yang melakukannya. Lalu siapa?

Ketika ditanya perihal tersebut, pihak pengelola KBS mengatakan bahwa pihaknya profesional dalam mengelola dan merawat semua satwa. Menurutnya, kondisi kandang singa di tempat Michael berada telah berstandar internasional. Ia juga menambahkan bahwa seluruh satwa setiap harinya selalau dicek kondisi kesehatannya dan diberikan vitamin.

Uniknya, michael diketahui tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Ketika ia dipindahkan dari BKSDA Jawa Timur, Maret 2013 lalu, kondisi kesehatan Michael baik. Oleh karena itu, kematian Michael benar-benar sangat menghebohkan. Seandainya pelakunya berasal dari pihak intern, baik pengelola maupun pegawai yang bersangkutan, maka ia akan dikenai pasal tindak kriminal.

Kematian Michael bukan merupakan kematian yang pertama kalinya di KBS. Sehari sebelumnya, seekor Gnu, yakni sebangsa persilangan banteng dan sapi juga ditemukan mati di kandangnya akibat kembung. Bahkan berdasarkan statistik, dalam 3 bulan terakhir, sebanyak 30 satwa ditemukan mati di KBS. Hal ini tentu sangat mengejutkan dunia, sampai-sampai media di Inggris menyandangkan predikat kebun binatang terkejam di dunia kepada KBS. Hal ini seharusnya membuat kita malu karena dengan adanya insiden ini, tingkat kepercayaan dunia kepada kita (baca: Indonesia) tentang perlindungan satwa-satwa semakin menurun.

Insiden ini juga menunjukkan bahwa Indonesia bukan merupakan negara yang aman bagi hewan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merebaknya penebangan liar yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab terhadap hutan-hutan di Indonesia. Hutan yang merupakan habitat asli dari hewan malah ditebang. Habis tak bersisa. Menambah ironi ketika mengetahui bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan keanekaragaman fauna terbanyak di dunia, yakni mencapai 10.000 jenis satwa terdapat di Indonesia. Kalau rumah mereka terus ditebang tanpa melakukan reboisasi, maka dapat dipastikan seluruh satwa yang terdapat di Indonesia akan punah, dan itu akan berdampak secara global karena mayoritas satwa yang ada di dunia berasal dari Indonesia.


Hasil Minim dari Penangkaran/Konservasi

Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah guna menyelamatkan satwa-satwa yang ada dari kepunahan, mulai dari perlindungan hutan hingga membuat konservasi in situ, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Kerinci, Taman Nasional Komodo dan banyak lagi.

Selain konservasi in situ, upaya lainnya adalah dengan konservasi ex situ, seperti kebun binatang. Tujuan utama dari kebun binatang adalah menyelamatkan hewan-hewan, terutama hewan langka, dengan cara mengisolasi mereka di suatu tempat yang majemuk dan kolektif dengan perawatan khusus. Selain itu, kebun binatang juga menjadi sarana bagi anak-anak untuk memberikan wawasan tentang hewan.

Ironisnya, tidak satupun tempat tinggal hewan aman. Mulai dari hutan hingga konservasi sekalipun. Di tempat asalnya, mereka mati karena rumahnya ditebang. Lalu, di konservasi, mereka mati karena kurang perawatan, kelaparan, sakit dan lain sebagainya. Keadaan ini membuat hewan “frustasi” untuk mencari tempat tinggal yang benar-benar aman.

Karena kita tinggal satu bumi dengan hewan, maka kita juga harus membagi tempat tinggal dengan hewan. Suatu negara juga harus memperhatikan kelangsungan hidup hewan yang ada di negara tersebut. Hak-haknya harus terpenuhi. Secara tidak langsung, hewan juga merupakan “rakyat” sebagaimana halnya manusia sebagai rakyat. Bedanya, hewan hanya perlu dipenuhi haknya, sedangkan manusia juga harus mnunaikan kewajibannya.

Di negara-negara maju, hewan benar-benar sangat diperhatikan oleh pemerintahnya. Misalnya Swiss, di sana hewan disubsidi pemerintah melalui APBN dan pengelolaannya diserahkan seluruhnya kepada keperintah. Tidak ada kebun binatang di sana yang dimiliki oleh swasta, apalagi perseorangan. Seluruhnya menjadi tanggungan pemerintah. Tidak hanya itu, kondisi kebun binatang juga sangat nyaman bagi hewan yang bersangkutan karena kandang didesain benar-benar persis seperti habitat aslinya, serta nyaman bagi pengunjung. Oleh karena itu, pantas kalau swiss mendapatkan predikat sebagai Kebun Binatang Terbaik di Dunia.

Namun, kalau kita bandingkan dengan di Indonesia, maka kita tertinggal sangat jauh. Mulai dari pengelolaannya, fasilitas, kebersihan, kenyamanan dan keamanan satwa. Bukan hanya kalah dari Eropa, tetapi juga kalah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Padahal, Indonesia memiliki beraneka ragam jenis fauna yang ada di dunia. Berbeda dengan Singapura yang hampir tidak memiliki hutan. Kalau ini dibiarkan, maka di masa mendatang, anak cucu kita tidak akan dapat melihat dan menikmati satwa-satwa yang ada pada saat ini. Jangan sampai mereka hanya mendengarkan cerita-cerita bak dongeng pengantar tidur.

Sterilisasi Pengelolaan

Satu-satunya cara tentunya adalah membenahi pengelolaan kebun binatang itu sendiri. Mulai dari pengelola hingga pegawai harus mendapatkan pelatihan penyadaran akan fauna. Nantinya, dalam pelatihan tersebut, dipilih pengelola dan pegawai yang lolos uji kualifikasi dalam menanganikebun binatang.Kemudian, sebagai pengontrol kerja dan evaluasi pekerja, maka mereka diberikan buku pemantau yang digunakan sebagai evaluator dalam bekerja.

Kemudian, masayarakat juga dilibatkan dengan memberikan penilaiannya terhadap kebun binatang dengan cara menuliskannya di kotak saran yang tersedia di setiap kandang, sehingga saran dapat fokus dan terukur. Kotak saran dibuat semenarik mungkin bagi anak-anak sehingga mengundang hasrat mereka untuk mengisinya. Secara tidak langsung, orang tua pun ikut memberikan sarannya. Hal ini penting sebagai evaluasi satwa.


Dengan pengelolaan yang baik, maka kematian hewan di kebun binatang tidak akan terjadi. Tentunya, pengelolaan tersebut diperlukan partisipasi dan kesadaran akan hewan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pengelola dan pengunjung kebun binatang. Dengan demikian, anak cucu kita di masa mendatang dapat menikmati satwa yang kita nikmati sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar