Rabu, 19 Juni 2013

PENERAPAN SISTEM NASIONALISME DALAM RANGKA MEMAJUKAN BANGSA INDONESIA MELALUI ANAK BANGSA


Berbicara tentang Indonesia, maka kita akan berbicara tentang sebuah negara yang besar. Dengan bentang negara seluas London sampai Teheran dan jumlah penduduknya yang tergolong besar, yaitu menempati peringkat ke-4 sebagai negara terpadat di dunia setelah China, Amerika Serikat dan India, maka pasti dalam pemerintahannya akan menemui berbagai problematika, salah satunya tentang pendidikan.


Seperti yang kita ketahui bersama, Pendidikan Indonesia saat ini secara peraturan memang bagus. Kementerian Pendidikan saat ini sedang menggalakkan yang sebuah sistem pendidikan yang bernama “Pendidikan Karakter”. Menteri Pendidikan mulai menyadari peran penting perubahan perilaku dalam proses pendidikan atau pembelajaran, karena para siswa atau lulusan zaman sekarang hanya teruji sebatas intelektual semata, tanpa memiliki nilai moral yang bagus. Hal ini dibuktikan dengan semakin merajalelanya tawuran kalangan pelajar di berbagai daerah. Selain itu, semakin merebaknya praktik-praktik korupsi di negara tercinta ini. Menurut data statistik, Indonesia mendapat posisi sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik.

Jika secara peraturan sistem Pendidikan Indonesia baik, namun secara aplikatif, Pendidikan Indonesia belum begitu baik atau bisa dikatakan buruk. Masih banyak sekolah-sekolah yang tidak menerapkan sistem Pendidikan Karakter tersebut. Bahkan sebagian besar di antaranya mengajarkan siswa-siswanya untuk melakukan tindakan sebaliknya. Contohnya bisa kita lihat pada saat Ujian Nasional (UN). Pada saat itu, banyak ditemukan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan pihak sekolah kepada murid-muridnya, seperti memberikan contekan jawaban. Ironis memang.

Tetapi kalau kita berbicara tentang UN, maka sebenarnya terdapat beberapa kontradiksi di dalamnya. Pemerintah sebagai penyelenggara UN beralasan adanya UN merpakan untuk meratakan standar pendidikan dan peningkatan standar kualitas pendidikan di Indonesia. Namun di dalam pelaksanaanya, ternyata UN ini menimbulkan potensi yang sangat besar untuk melakukan kecurangan, seperti membeli jawaban, mencontok teman, menyuap pengawas dan lain sebagainya hanya agar ia lulus dan mendapat ijazah. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan sistem pendidikan galakkan pemerintah sekarang, yakni Pendidikan Karakter.

Banyak pihak yang menilai bahwa kelulusan UN tidak bisa dijadikan standar sebagai pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Alasan ini didasari oleh fakta lapangan yang tidak mendukung terciptanya tujuan tersebut, baik melalui UN sendiri maupun persiapannya. Masih banyak sekolah-sekolah di daerah pinggiran Indonesia yang belum mendapatkan fasilitas pendidikan, baik pendidik maupun prasarana, yang tidak memadai. Pemerintah melalui UN ingin membuat semua standar pendidikan di Indonesia itu sama, namun faktanya tidak.

Pelaksanaan UN sendiri juga dianggap tidak fair. Pendapat ini didasari oleh kemampuan siswa yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Siswa dituntut untuk monoton terhadap pelajarannya. Kemudian juga pelaksanaan UN seakan hanya berorientasi kepada kelulusan semata (baca: ijazah), bikan kepada kemampuan lagi. Hal inilah yang membuat siswa-siswa Indonesia kalah kreatifdengan pelajar lainnya.
Kalau kita bercermin kepada negara-negara lain yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, maka kita tidak akan menemui sistem semacam UN di dalam pendidikannya. Mereka berorientasi kepada kemampuan dan ilmu pengetahuan serta bakat anak didik. Mereka memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk menekuni bidang bakatnya masing-masing dengan bantuan apresiasi melalui institusi-institusi serta tenaga pendidik yang memadai. Oleh karena itu jangan heran kalau kualitas pendidikan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan lain sebagainya masih lebih tinggi daripada di Indonesia.

Realita ini semakin diperkuat dengan semakin banyaknya pelajar Indonesia yang pergi merantau ke luar negeri untuk mencari pendidikan dengan kualitas yang lebih baik. Selain mendapatkan ilmu intelektual, merekajuga mendapatkan ilmu sosial dalam prosesnya. Menurut data statistik bahwa setiap tahunnya pelajar Indonesia yang merantau ke luar negeri untuk mencari ilmu semakin bertambah. Hal ini juga didukung oleh semakin menjamurnya organisasi-organisasi pemberi beasiswa ke luar negeri.

Tidak hanya menuntut ilmu semata, perantauan mereka ke luar negeri juga dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan di negara mesing-masing. Tidak hanya itu, bahkan banyak di antara mereka yang menetap cukup lama dan ada yang tidak pulang ke Indonesia hingga akhir hayatnya setelah menamatkan studinya di sana. Mereka melakukan hal tersebut dikarenakan mereka beranggapan bahwa jaminan kesejahteraan di sana lebih terjamin daripada mereka balik lagi ke Indonesia. Apalagi bagi yang sudah menamatkan S3 nya di luar negeri. Ia merasa ilmunya yang sudah sulit didapat ternyata tidak berguna di Indonesia.

Anis Baswedan di dalam emailnya yang dikirim kepada pelajar Indonesia yang berada di Jepang mengatakan bahwa sebaiknya setelah mereka menamatkan studinya di luar negeri, maka jangan langsung buru-buru pulang, tetapi lebih baik menetap sementara dan bekerja di sana. Meskipun alasannya untuk mendapatkan pengalaman lebih, namun ini menunjukkan kepada kita secara jelas bahwa memang Indonesia belum mampu memanfaatkan hasil studi putra-putrinya dari luar negeri untuk berkontribusi bagi Indonesia sendiri.

Habis manis, sepah dibuang. Inilah mungkin pribahasa yang sesuai disematkan  kepada bangsa Indonesia. Dengan berbagai macam aturan yang dibuat, ternyata hanya mengantarkan putra-putrinya ke luar negeri dan mengabdi di sana. Memberikan benih kepada negara lain tanpa dapat merasakan hasil dari ilmu mereka untuk bangsa ini sendiri. Sungguh sebenarnya ini adalah sebuah dilema mendalam bagi Indonesia, mengingat negara yang besar dengan begitu banyak potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat dimanfaatkan.

Untuk SDM sendiri sebenarnya Indonesia sudah tidak perlu khawatir lagi, karena sudah banyak sekali anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia melalui torehan prestasinya di ajang internasional. Sudah berapa banyak medali yang telah diraih anak bangsa bagi Indonesia sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kualitas SDM Indinesia itu sendiri sudah terasah dengan baik, tinggal bagaimana caranya hal ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.


Pengadaan sarana dan prasarana serta kesempatan bagi anak bangsa

Permasalahan sebenarnya terletak pada ketersediaan sarana dan prasarana serta kesempatan untuk mengembangkannnya dan memanfaatkannya. Ilmu-ilmu yang telah diraih anak bangsa di luar negeri itu bukanlah remeh, melainkan sangat berguna dan dapat memajukan Indonesia sendiri. Namun, bangsa ini seakan tidak membutuhkannya untuk kepentingan bangsa, selalu memprioritaskan kepentingan pribadi. Padahal, saat ini bangsa ini sedang giat membangun untuk menjadi bangsa yang maju dan beradab.
Hal pahit ini terus saja terjadi, ketika anak bangsa yang pulang ke Indonesia ingin mempraktikkan ilmunya, ia kebingungan, akhirnya ia pun memilih untuk kembali ke negara asal ia menimba ilmu atau hanya sekadar menjadi seorang guru maupun dosen.

Memang pekerjaan guru atau dosen itu sangatlah mulia, namun apabila seluruh orang yang berpotensi di bidang khusus tertentu, kemudian hanya menjadi seorang guru, maka bangsa ini juga tidak akan maju. Suatu bangsa itu memerlukan sosok seorang guru dan sosok seorang profesional untuk mengolah negara ini sesuai keahliannya.

Namun hal ini luput dari stigma pemerintah. Pemerintah selalu hanya berpikir saat ini, namun tidak untuk mendatang. Stigma ini membuat rakyatnya menjadi tidak berkembang. Akhirnya, negara ini hanya puas melakukan hal yang sama setiap hari dan tidak mau dinamis, mengakibatkan ketidakmajuan dan kejumudan kondisi.

Sebenarnya perusahaan-perusahaan di Indonesia ini banyak. Ini artinya banyak pula harusnya lapangan kerja bagi negara ini. Tetapi ternyata anak bangsa hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan wilayah. Sebagaimana kita ketahui bahwa, hampir 80% dari jumlah pekerja Indonesia di perusahaan asing bekerja sebagai karyawan tingkat rendah. Hanya beberapa saja yang mendapatkan posisi strategis.

Tidak hanya itu, Indonesia juga terus saja memberikan lampu hijau secara membabi buta kepada perusahaan asing yang masuk ke Indonesia. Ini terjadi karena Indonesia sudah masuk dalam perjanjian pasar bebas internasional. Akibatnya, anak bangsa tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan usahanya sendiri di negaranya sendiri.

Berbicara masalah pasar bebas internasinal, sebenarnya Indonesia sudah terjebak dengan praktik Kapitalisme terang-terangan. Praktik ini mempersilakan bagi orang yang punya banyak uang untuk berinvestasi meskipun pihak kecil menjadi korban. Ini membuat para pemodal asing dapat seenaknya masuk ke Indonesia untuk berinvestasi. Korbannya tentu saja rakyat Indonesia sendiri.

Islam sebenarnya telah mengajarkan cara berinvestasi yang baik. Islam melarang praktik Kapitalisme karena memang praktik ini membuat ketimpanagn dan kerugian yang luar biasa. Saya bukan bermaksud untuk mengatakan kalau Indonesia harus menjadi negara Islam, tetapi seharusnya Indonesia bisa lebih berpikir kritis dan jernih dalam mengambil sebuah kesepakatan. Jika tidak, akhirnya akan banyak pihak yang akan dirugikan nantinya.

Sedih sebenarnya bila mengetahui bahwa Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tidak dapat mengambil pelajaran untuk negaranya melalui agama Islam itu sendiri. Kita sebagai Muslim harusnya prihatin karena agama kita ternyata hanya sebatas ritual, tidak sampai universal. Hal ini dibuktikan tidak ada percikan sedikitpun dari hukum dan praktik yang berlaku di Indonesia ini.
Kondisi sekarang ini sebenarnya memiliki solusi, karena memamng setiap masalah itu memiliki solusi masing-masing. Setiap solusi itu bisa berupa saran maupun bentuk aplikatif. Solusi pasti dapat menyelesaikan, meski kadang lama, suatu masalah yang kita hadapi.

Pada tahun 2014 nanti, Indonesia akan merayakan pesta demokrasi besar, yaitu pemilu. Indonesia akan memasuki periode ketiga dalam melakukan pemilihan secara langsung sejak pertama kalinya pada tahun 2004 dengan presiden terpilih adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rakyat Indonesia akan melakukan periode yang ketiga dengan 10 partai politik (parpol) yang lolos seleksi peserta pemilu, banyak berkurang daripada periode sebelumnya.

Kondisi politik Indonesia beberapa bulan belakangan ini memang sedang merosot, apalagi sejak pimpinan partai penguasa tersandung skandal kasus korupsi. Kasus tersebut menyeret beberapa nama petinggi negara ini. Akhirnya mereka harus terlibat dengan proses hukum dan meninggalkan jabatan mereka untuk menyelesaikan kasusnya. Hal ini mengakibatkan stabilisasi bangsa terganggu.

Yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan adalah kasus korupsi oleh petinggi salah satu partai politik islam. Partai tersebut yang seharusnya menjadi tempat aspirasi umat islam kepada negara ini ternyata telah menyalahgunakan jabatannya. Akhirnya rakyat pun jadi tidak yakin lagi terhadap partai tersebut dan para kadernya. Ini membuat peluang partai-partai non islam untuk menguasai negeri ini lebih besar.

Kembali kepada permasalahan awal, yakni tentang pengadaan sarana dan prasarana serta kesempatan bagi anak bangsa, maka sebenarnya Indonesia dapat mengatasinya dengan menerapkan sistem nasionalisme. Sistem ini mengutamakan nilai-nilai nasional atau peran anak bangsa dalam mengurusi dan memajukan negeri ini. Jadi, dalam menyetujui pembangunan investor asing ke Indonesia, Indonesia harus menimbang eksistensi anak bangsa dalam proyek yang tidak jauh beda.

Sistem di atas juga dapat menjauhi dan menghilangkan praktik-praktik kapitalisme di Indonesia. Dengan hilangnya praktik kapitalisme di Indonesia, maka kesempatan Indonesia untuk menjadi negara maju akan cepat tercapai, karena selama ini praktik kapitalisme menghambat bangsa ini untuk menjadi mandiri, melalui ketiadaan peran anak bangsa di dalamnya.

Misalnya seperti pembangunan perusahaan mesin oleh investor asing ke Indonesia. Sebelum pemerintah menyetujui perjanjian investasi tersebut, pemerintah harus menimbang potensi anak Indonesia untuk membuat hal yang serupa. Sudah banyak anak Indonesia yang menjadi ahli mesin dan ahli manajemen yang malah bekerja di luar negeri karena tidak punya tempat di Indonesia. Kemudian, pemerintah akan memberikan perjanjian tersebut kepada anak bangsa dengan pertimbangan nasionalisme dan profesionalisme. Dengan sistem nasionalisme, maka peluang anak Indonesia akan lebih besar dalam mengembangkan negaranya sendiri, karena sebenarnya, bangsa yang maju itu berasal dari kekuatan utama anak bangsanya sendiri.

Pemanfaatan anak bangsa dalam kemajuan bangsa sebenarnya juga lebih efisien dan efektif, karena biaya yang dikeluarkan oleh negara tidak akan begitu besar. Selain itu juga jika anak bangsa yang memprakarsainya, maka secara tidak langsung pendapatannya akan kembali kepada Indonesia juga. Dan ini juga dapat membuat lapangan kerja yang besar bagi berbagai kalangan pada bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menerapkan sistem nasionalisme dalam peraturan perundang-undangannya dan pemerintahannya agar memperoleh kemajuan.

Selanjutnya saran bagi pemerintah agar bisa membuat peraturan yang lebih mendukung dan berpihak kepada bangsa sendiri. Saat ini masih banyak dari mperaturan yang ada lebih berpihak kepada pihak luar atau bangsa asing dan memojokkan rakyat sendiri. Dengan berlakunya hukum yang jelas dan tegas, maka pelaksanaannya juga akan lebih formal dan lebih tegas.

Kemudian bagi presiden yang baru nanti agar bisa menetapkan parlemennya sesuai dengan kemampuan dan berhati nasionalis, agar peraturan-peraturan yang berlaku dapat memajukan Indonesia melalui tangan putra-putrinya. Jika ini tidak dilakukan, maka pada tahun 2014 nanti, kondisi ini akan terus berulang bahkan hingga zaman berakhir. Tetapi jika pemerintah sadar akan ini, maka Insya Allah, tahun 2014 nanti, Indonesia akan memulai merasakan kemajuannya sedikit demi sedikit.

0 komentar:

Posting Komentar